Pengertian keadilan yang keempat ialah tindakan memelihara kelayakan dalam pelimpahan wujud, dan tidak mencegah limpahan dan rahmat pada saat kemungkinan untuk mewujudkan dan menyempurna pada itu telah tersedia. Pada bagian yang akan datang, saya akan menjelaskan bahwa sistem ontologis ini, tiap-tiap maujud berbeda-beda dalam hal kemampuan menerima eminasi dan karunia dari Sumber Wujud. Semua maujud, pada tingkatan wujud yang mana pun, memiliki kelatakan khas terkait kemampuannya menerima eminasi tersebut. Dan mengingat Zat Ilahi yang Kudus adalah Kesempurnaan Mutlak dan Kebaikan Mutlak yang senantiasa memberi emanasi, maka Dia pasti akan memberikan wujud atau kesempurnaan wujud kepada setiap maujud sesuai dengan yang mungkin diterimanya.
Jadi, keadilan Ilahi, menurut rumusan ini, berarti bahwa setiap maujud mengambil wujud dan kesempurnaan wujudnya sesuai dengan yang layak dn yang mungkin untuknya. Para ahli hikman (teosof) menyandang sifat adil kepada Allah Swt dalam pengertian yang sedang kita bicarakan sekarang ini, agar sejalan dengan (ketinggian ) Zat Allah Swt dan mejadi sifat sempurna bagi-Nya. Begitu juga kezaliman yang mereka nafikan dari Allah Swt sebagai kekurangan bagi-Nya.
Para teosof berkayinan bahwa sesuatu yang maujud tidak memiliki hak atas Allah, sedemikian sehingga pemberian hak itu merupakan sejenis pelunasan utang atau pelaksanaan kewajiban. Dan bila sudah dipenuhi, Allah bisa dipandang adil karena Dia telah melaksanakan segenap kewajiban-Nya terhadap pihak-pihak lain secara cermat. Keadilan Allah sesungguhnya identik dengan kedermawanan dan kemurahan-Nya. Maksudnya, keadilan-Nya berimplikasi bahwa kemurahan-Nya tidak tertutup bagi semua maujud semaksimal yang mungkin diraihnya. Pengertian itulah yang dimaksud oleh Imam ‘Ali as dalam khutbah 214 dalam Nahj Al-Balaghah, “ Sesungguhnya, hak itu tidak terdiri di satu pihak. Setiap orang berhak atas piak lain, pihak lain pun berhak atas pihak pertama. Zat Allah dikecualikan dari kaidah ini karena Dia memiliki hak terhadap segala sesuatu segala sesuatu tidak memiliki selain tanggungt jawab dan taklif terhadap Pencipta-Nya. Tidak ada yang memiliki hak apa pun pada Pewujudnya.”
Apabila melalui tolok ukur yang paling tepat ini kita bermaksud meniliti berbagai persoalan, kita harus melihat persoalan yang dipandang sebagai “kejahatan” atau “pengutamaan tanpa keutamaan” atau “kezaliman” sembari bertanya: Apakah ada suatu maujud yang memiliki kemungkinan untuk mewujud, tapi (terbukti) tidak mewujud? Apakah ada maujud yang memiliki kemungkinan menyempurna dalah sistem universal, tapi terbukti tidak memperoleh kesempurnaan tersebut?apakah setiap maujud telah diberi apa “yang seharusnya diberikan” padanya? Maksudnya, apakah Allah menggantikan kebaikan dan rahmat dengan sesuatu yang bukan kebaikan dan rahmat, melainkan kejahatan dan bencana; bukan kesempurnaan, melainkan kekurangan?
Dalam Al-Asfar, jilid II, Bab “Al-Shuwar Al-Nau’iyyah (Forma-Forma Spesifik), dibawah pasal berjudul “Kayfiyat Wujud Al-Ka’inat Al-Haditsah bi Hudutsi Al-Zaman (Modus Eksistensi Berbagai Entitas yang Bermula dalam Waktu), Mullah Shadra mengisyaratkan konsep keadilan Ilahi dan pengertiannya yang sejalan dengan cita rasa para teosof. Dia menuliskan:
“Berdasarkan uraian lampau, kau sudah tahu bahwa materi (maddah) dan forma (shurah) adalah dua kausa bagi (eksistensi) benda-benda fisik. Dari bahasan ihwal interdependensi keduanya, bisa disimpulkan keniscayaan adanya kausa efisien yang bersifat metafisik. Pada pokok bahasan tentang gerakan-gerakan universal (al-harakat al-kulliyyah), kita akan membuktikan bahwa tiap gerakan itu memiliki tujuan akhir yang metafisik. Kausa efisien dan tujuan metafisik itu adalah dua kausa jauh bagi (eksisitensi) semua benda fisik. Sekiranya kedua kausa jauh itu cukup untuk mewujudkan benda-benda alam fisik, niscaya semua benda fisik ini akan bersifat kekal, tidak akan meniada. Lebih dari itu, segenap kesempurnaan yang layak untuknya telah ada sejak semula, awal wujudnya akan identik dengan akhir wujudnya. Namun, kedua kausa iu tidaklah mencukupi sehingga ada dua kausa dekat yang juga berefek padanya, yaitu materi dan forma.
“Pada satu sisi, terdapat oposisi dalam forma (suatu benda) dan tingkat-tingkat awal forma itu cenderung punah. Pada sisi lain, tiap materi berpotensi menerima berbagai forma yang beroposisi. Karenanya, setiap maujud (bendawi) berpotensi menerima dua kelayakan dan pangkat yang berlawanan; yang satu dari forma dan lainnya dari materi. Forma menuntut kelanggengan dan pemeliharaan keadaan-saat-ini suatu maujud, sedangkan materi menuntut perubahan keadaan dan pemakaian forma lain yang berlawanan dengan forma di dalam dirinya. Mengingat kemustahilan terpenuhinya dua ‘hak’ atau tuntunan yang beroposisi pada satu maujud ini secara bersamaan pada satu waktu, maka satu materi tak mungkin mengandung banyak forma yang berlawanan pada satu waktu. Anugerah Ilahi meniscayakan penyempurnaan materi alam semesta—yang merupakan alam paling rendah ini—dengan perantaraan bermacam-macam forma. Karena itu, kebijaksanaan Ilahi menetapkan bahwa gerakan itu berlangsung terus-menerus dalam waktu yang tidak terputus. Dia juga menetapkan materi selalu berubah-ubah dan berganti tempat seiring perubahan forma sepanjang waktu. Keniscayaan menuntut setiap forma memiliki saat tertentu yang khusus untuknya, sehingga setiap forma pada gilirannya memperoleh jatah untuk mewujud.
“Kemudian, lantaran materi itu milik bersama, maka setiap forma memiliki hak yang sebanding atas forman lain (untuk menjelma dalam materi). Jadi, keadilan meniscayakan materi dengan forma A menjelmakan forma B dan materi dengan forma B mengembalikan (penjelmaan) forma A. dengan pola seperti ini, suatu materi berpindah-pindah diantara banyak forma secara bergantian. Oleh sebab itu, demi “keadilan” dan terjaganya kelayakan serta hak segala sesuatu, kita menyaksikan keberlangsungan dan kelanggengan (baqa’ al-anwa’), dan bukan individu (al-afrad).”
Pada poin ini, muncul masalah lain, yaitu: bila segala sesuatu berada dalam relasi setara dihadapan Allah, tiada “kelayakan” atau “hak” yang mesti dipelihara supaya ada “keadilan” yang berarti pemeliharaan “kelayakan” atau “hak”. Satu-satunya keadilan yang mungkin dibenarkan menyangkut Allah ialah keadilan dalam arti memelihara kesetaraan. Sebab, dari segi kelayakan dan pangkat, sebagaimana telah saya katakan, tiada perbedaan di sisi Allah. Maka, keadilan dalam arti memelihara kelayakan atau kepangkatan di sisi Allah sama dengan keadilan dalam arti memelihara kesetaraan. Oleh karena itu, keadilan Ilahi mengharuskan tiadanya pengutamaan dan perbedaan di antara sesama makhluk. Padahal, di alam wujud ini, kita menyaksikan timbulnya begitu banyak perbedaan.
Bahkan, alam ini semata-mata berisi perbedaan, keberagaman, dan kepangkatan.
pendapat saya :
keadilan itu adalah suatu hak yg dimiliki oleh setiap orang keadilan juga faktor utama dari seseorang . banyak di negara indonesia keadilan kurang di dapat oleh masyarakat kecil , dari segi pangan,papan,pembangunan,tempat tinggal dsb. atau kebutuhan akan kesempurnaan eksistensial segala sesuatu kepada-Nya. Setiap maujud yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau memiliki salah satu jenis kesempurnaan pasti akan Allah limpahi dengan wujud atau kesempurnaan itu, karena Allah Swt Maha Melakukan dan niscaya Memberi karunia. Dengan demikian, keadilan Allah—sebagaimana yang saya kutip dari Mulla Shadra di atas—tak lain adalah rahmat umum dan pemberian menyeluruh kepada segala sesuatu yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau kapasitas untuk mendapatkan kesempurnaan tanpa pernah menahan atau mengutamakan yang satu atas yang lain.
keadilan itu adalah suatu hak yg dimiliki oleh setiap orang keadilan juga faktor utama dari seseorang . banyak di negara indonesia keadilan kurang di dapat oleh masyarakat kecil , dari segi pangan,papan,pembangunan,tempat tinggal dsb. atau kebutuhan akan kesempurnaan eksistensial segala sesuatu kepada-Nya. Setiap maujud yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau memiliki salah satu jenis kesempurnaan pasti akan Allah limpahi dengan wujud atau kesempurnaan itu, karena Allah Swt Maha Melakukan dan niscaya Memberi karunia. Dengan demikian, keadilan Allah—sebagaimana yang saya kutip dari Mulla Shadra di atas—tak lain adalah rahmat umum dan pemberian menyeluruh kepada segala sesuatu yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau kapasitas untuk mendapatkan kesempurnaan tanpa pernah menahan atau mengutamakan yang satu atas yang lain.
Ihwal apakah faktor utama di balik perbedaan kapasitas dan kelayakan itu; danbagaimana mungkin kita menafsirkan dan memahami perbedaan kapasitas dan kelayakan itu berdasarkan fakta bahwa segala sesuatu itu pada esensinya berbeda dari segi kapasitas dan kelayakan. Padahal saya telah menegaskan bahwa emanasi dan limpahan karunia Allah Swt tidak berujung dan tidak berhingga; Inilah pertanyaan yang saya coba uraikan—dengan bantuan dan taufik Allah—pada halaman-halaman berikutnya.
http://rusya.wordpress.com/2010/03/11/definisi-keadilan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar